KEBUMEN - Akibat kesulitan mencari tenaga kerja, puluhan perajin genting di wilayah Kecamatan Pejagoan mengurangi jumlah produksinya. Bahkan, beberapa perajin ada yang sudah gulung tikar.
Salah satu perajin genting di Desa Kebulusan, Kecamatan Pejagoan, Sodiman (52) mengatakan, biasanya satu juragan "Sementara sisanya tutup karena kesulitan mencari tenaga kerja,'' kata dia, Senin (24/9). Padahal, kebutuhan pasar terhadap genting terus mengalami peningkatan seiring dengan makin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kawasan pemukiman. Minat ma-syarakat untuk menggunakan asbes masih sedikit. "Masyarakat masih menggantungkan genting sebagai atap rumah,'' ungkapnya.
Dia menjelaskan, turunnya jumlah produksi itu berdampak pada harga jual genting di pasaran. Saat ini harga genting terus meningkat dan menembus Rp 1.200 per buah. "Harga itu terbilang tinggi dibanding beberapa bulan lalu berkisar Rp 1.000 per buah,'' imbuhnya.
Pilih Merantau
Menurut pengamatan Sodiman kelangkaan tenaga kerja itu sudah berlangsung lama sekitar 10 tahun terakhir. Untuk bisa mengoperasikan satu mesin saja dibutuhkan sekitar lima tenaga kerja. "Satu pengusaha genting paling tidak memiliki dua mesin pencetak genting. Bisa dibayangkan, di seluruh wilayah Kebumen ada ratusan pengusaha genting yang membutuhkan tenaga kerja,î jelasnya.
Perajin lain yang kini mengurangi jumlah produksi, Kartiyo mengatakan, rata-rata pemuda desa memilih untuk pergi merantau ke luar daerah untuk mengadu nasib. Pemuda desa menilai membuat genting belum mampu mengatasi masalah ekonomi warga. "Penilaian itu wajar, mengingat kebutuhan hidup masyarakat terus berkembang,'' katanya.
Dia mengungkapkan, tenaga kerja laki-laki biasa dibayar Rp 30.000 per hari, sementara tenaga kerja perempuan dibayar Rp 18.000 per hari. Upah itu sulit dinaikan, karena perajin atau pengusaha harus menanggung biaya operasional yang cukup besar. "Seperti biaya transportasi dan pembelian bahan baku,''katanya.
Khudlori (43) mengatakan, perajin tidak bisa berbuat banyak menghadapi masalah tersebut. Karena sampai saat ini, perajin masih mengandalkan cetak manual yang harus ditangani tenaga kerja. "Cetakannya belum memakai mesin cetak canggih,'' ujar dia.
Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar