27 Mei 2011

Legenda Ban Pin San


Bila Anda naik kereta api, ketika memasuki kota Kaohsiung di selatan Taiwan, Anda akan melihat gunung yang bernama "Ban Pin Shan." Gunung ini tampak persis seperti namanya, yaitu tersisa setengah.

Bentuknya seperti gunung biasa, tetapi dengan sisi yang hilang sebagian, seakan-akan setengah dari bukit tersebut telah dipotong dengan sebilah pedang. Anda mungkin penasaran dengan bagian yang hilang, tapi jangan khawatir, ada sebuah legenda yang menjelaskan asal-usulnya.

Konon dahulu kala, ketika Ban Pin Shan masih utuh, ada sebuah desa kecil di kaki gunung. Suatu hari, seorang kakek tua penjual kue datang ke desa itu. Rambut dan janggutnya berwarna putih, pakaian yang dikenakannnya sangat tua dan usang. Tangan kakek tua menggenggam sebuah wadah besar, penuh dengan bakpau hangat yang berbau nikmat. Bakpau-bakpau ini terlihat sangat lezat untuk disantap.

Namun, semua orang desa berpikir orang tua ini sangatlah bodoh. Kakek tua menjajakan dagangannya, sambil berkata, " Bakpau hangat dan lezat! Satu seharga Rp.5.000, Dua Seharga Rp. 10.000, dan gratis jika mengambil tiga!"

"Ada apa, ada apa?" Penduduk desa bertanya-tanya dengan keheranan.

"Bakpau hangat dan lezat! Kacang merah dan wijen ! Satu harganya Rp.5.000, Dua harganya Rp. 10.000, dan gratis jika mengambil tiga!" , Kakek tua gila berteriak lagi.

Penduduk desa yang datang semakin banyak. Mereka berbisik-bisik dengan suara rendah, "Apakah ini sungguhan? Tak perlu membayar jika mengambil tiga bakpau? Jangan-jangan ini tipuan"

"Siapa yang peduli. Akan aku makan tiga bakpau pertama, kita lihat apakah itu gratis atau tidak?" Wang Si Kepala Besar mencoba.

"Mmmm, bakpau ini sangat enak!" Kata Wang Si Kepala Besar sambil mengunyah. Ketika Wang selesai makan bakpau kedua, dia begitu kenyang, hingga tidak bisa menelan yang berikutnya.

Namun, ia bertanya pada kakek tua, "Jika makan tiga, saya tidak perlu membayar khan?"

"Aku tidak pernah berbohong. Sudah aku katakan, tiga bakpau, gratis," kakek tua menjawab.

Dengan terburu-buru, Wang Si Kepala Besar memasukkan bakpau ketiga ke dalam mulut, hanya untuk satu tujuan, agar memperoleh bakpau gratis. Kakek tua menepati janjinya dan tidak meminta Wang untuk membayar.

Penduduk desa yang lain mulai mengambil bakpau dagangan si Kakek. Setiap orang memakan tiga bakpau agar gratis. Tidak ada yang makan satu atau dua bakpau. Setelah beberapa saat, bakpau sebanyak satu wadah penuh telah dihabiskan oleh penduduk desa.

"Kalian semua memang memiliki nafsu makan yang baik," kata kakek tua sambil tersenyum.

Penduduk yang tidak mendapat kue hanya bisa kecewa, menyaksikan kakek tua pergi dari desa. Seorang warga yang makan tiga bakpau tiba-tiba berteriak, "Lihat! Bagaimana mungkin gunung di belakang desa bisa hilang sebagian?!"

"Omong kosong! Saya rasa kamu makan terlalu banyak kue, sampai-sampai pikiran jadi linglung," jawab seseorang.

Penduduk desa kemudian kembali membicarakan kakek tua. "Ha! saya tidak percaya ini. Ada orang sebegitu bodoh yang menjual tiga bakpau dengan gratis."

"Bakpaunya sangat lezat. Aku penasaran apa bahannya. Aku juga penasaran dari mana kakek tua ini berasal. Aku harap dia datang setiap hari."

Pada hari kedua, kakek tua gila datang ke desa lagi. Dia berteriak, "Bakpau hangat dan lezat! Kacang merah dan wijen ! Satu harganya Rp.5.000, Dua harganya Rp. 10.000, dan gratis jika mengambil tiga!"

Kakek tua gila berteriak lagi. Semua orang kembali berkumpul. Mereka makan begitu cepat, sampai-sampai bakpaunya tidak terkunyah. Setelah beberapa saat, semua bakpau telah habis lagi.

Pada hari ketiga, hal yang sama terjadi. Penduduk desa berusaha makan bakpau sebanyak tiga buah. Tiba-tiba, terdengar suara, "Kakek, bisa tolong beri aku satu bakpau?"

Semua orang terkejut. Mereka berbalik dan menatap pria muda yang ingin membeli hanya satu bakpau saja.

"Anak muda, apakah kamu mendengar dengan jelas? "Satu harganya Rp. 5.000, Dua harganya Rp. 10.000, dan gratis jika mengambil tiga. Mengapa kamu hanya ingin satu bakpau bila kamu bisa mendapat tiga dengan gratis?"

"Saya tahu," anak muda menjawab, "Saya melihat Anda datang setiap hari. Anda membawa wadah yang berat ke sini dan pasti telah berjalan cukup jauh, namun tidak menghasilkan uang sepeserpun. Saya merasa kasihan. Saya benar-benar ingin membantu. Tapi uang saya hanya cukup untuk membayar satu bakpau. "

Ketika mendengar kata-kata itu, kerumunan penduduk desa yang serakah itu merasa sangat malu.

"Ha, Ha! Akhirnya aku menemukanmu. Kamu adalah orang yang cocok menjadi muridku. Saya adalah dewa dari gunung di belakang desa."

Semua orang sekarang menyadari bahwa orang tua itu sebenarnya adalah dewa gunung. Untuk mencari seorang murid yang dapat dipercaya serta baik hati, dewa gunung menyamar sebagai orang tua bodoh untuk menguji hati penduduk desa. Yang dijualnya bukanlah benar-benar bakpau. Bakpau yang dibawanya terbuat dari lumpur yang digali dari gunung.

Setelah mendengar penjelasan dewa gunung, penduduk desa berlari untuk melihat kue yang tersisa. Namun, yang mereka lihat hanyalah sebuah wadah besar berisikan lumpur. Ketika mereka berbalik dan melihat gunung, penduduk desa melihat bahwa benar, setengah bagian gunung itu telah lenyap.

Kemudian, dewa gunung membawa pemuda baik hati ini ke tempatnya dan siap menurunkan semua ilmu yang dimilikinya. Adapun penduduk desa, mereka merasa benar-benar jijik setelah makan semua lumpur itu. Mereka berharap bisa memuntahkan semua lumpur yang telah mereka makan. Mereka menyesali tindakan mereka, menyalahkan diri sendiri karena terlalu serakah. Setelah kejadian ini, penduduk desa menamai gunung tersebut Ban Pin Shan. (Erabaru/wid)

0 komentar:

Posting Komentar