Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub
Ketika banyak orang mempermasalahkan penampilan dai di televisi, kami teringat ketika mengikuti rapat Lembaga Sensor Film (LSF) beberapa tahun yang lalu di Jakarta. Dalam rapat itu, Wakil Ketua LSF, Raysita Supit, menyatakan kekesalan dan kemarahannya. Menurutnya, rating tayangan televisi adalah sebuah rekayasa untuk menghancurkan moral bangsa. Tayangan yang bagus tidak akan diberi rating yang tinggi, tetapi tayangan yang berisi kekerasan, perkosaan, eksploitasi aurat, dan hal-hal yang merusak moral diberi rating yang tinggi. Menurutnya, pemberian rating itu dilakukan oleh sebuah lembaga yang dipimpin oleh orang asing. Raysita Supit kesal dan marah karena rating rekayasa yang merusak moral bangsa itu dibiarkan dan tidak dilarang di negara yang menjunjung tinggi nilai moral ini.
Tidak diragukan lagi bahwa penampilan dai di televisi juga masuk
rating rekayasa. Para dai yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang tinggi tayangan dakwahnya tidak akan mendapatkan
rating yang tinggi, sementara dai yang baru mengetahui satu dua ayat Alquran dan Hadis Nabi SAW melalui karya terjemah justru tayangan dakwahnya diberi
rating yang tinggi. Televisi adalah sebuah perusahaan yang tidak bisa eksis tanpa sponsor iklan dan para sponsor tidak akan mau beriklan pada televisi dan tayangan tertentu bila tayangan tersebut tidak mendapatkan
rating yang tinggi.
Maka, wajar sekali apabila televisi hanya akan menayangkan tayangan yang memiliki
rating yang tinggi, sedangkan pemberi rating yang direkayasa itu tidak akan memberikan rating yang tinggi kepada tayangan dakwah yang berkualitas. Akibatnya, tayangan dakwah yang bernuansa banyolan dengan menampilkan dai demikian sangat mendominasi tayangan dakwah di televisi.
Para perekayasa
rating tidak akan menampilkan dakwah tokoh yang berkapasitas ilmiah tinggi dan bermoral luhur untuk disiarkan dakwahnya di televisi, tetapi mereka akan menampilkan dai-dai yang lucu dan banyak banyolan daripada dakwahnya.
Dalam tampilannya, para dai ini sangat terlihat kekurangannya. Namun, untuk mengelabui pemirsa, mereka cerdik menutupi kekurangannya itu dengan beragam cara, baik dari segi penampilan maupun ketika menjawab pertanyaan jamaah. Jawaban yang diberikan terasa kurang bermakna karena memang tidak menguasai ilmunya. Dai dengan tipe seperti ini dikhawatirkan akan menjadi penjual agama demi meraih kepentingan sesaat. Parahnya lagi, bila dengan dakwahnya itu, justru akan menyebabkan tersesatnya umat. Mereka pandai mengatakan, tapi tak pandai mengerjakan.
"Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS as-Shaff [61]: 2-3).
Masalah penampilan dai yang demikian itu pernah dibicarakan oleh DPP Ittihadul Muballighin pimpinan KH Syukron Ma'mun dengan menteri agama waktu itu, Dr H Tarmizi Taher. Waktu itu, menteri agama menyatakan akan membuat regulasi tentang penampilan dai di televisi. Namun, regulasi itu tampaknya sampai sekarang tidak pernah ada.
sumber:
www.republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar